Monday, May 26, 2008

International Week of the Disappeared

ASIAN FEDERATION AGAINST INVOLUNTARY DISAPPEARANCES (AFAD)
Rooms 31-=311 Philippine Social Science Center Bldg. Commonwealth Ave.,
Diliman, Quezon City, Philippines, Telefax: 00-63-2-4546759; Telephone: 00-63-2-9274594
Website: http://www.afad-online.org
===================================================================

Enforced Disappearance is Anti-Life…
No to Untold Sufferings….
Sign and Ratify the UN Convention
for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance!

The Asian Federation Against Involuntary Disappearances joins all families of the disappeared persons around the world in the commemoration of the International Week of the Disappeared from May 26 to June 1. This week of the desaparecidos was first commemorated by the Latin American Federation of Associations of Relatives of Disappeared-Detainees (FEDEFAM) more than a couple of decades ago.

In the observance of this occasion, AFAD affirms the right of every person to life, liberty and dignity and therefore, the right not to be subjected to enforced disappearance. The essential value of one's existence is to live freely without discrimination, prejudices and harm. Enforced disappearance does not only violate these basic human rights by physically removing a person from the protection of the law but it also denies the families of the disappeared persons the right to know the truth and to seek justice.

Enforced disappearance is a global phenomenon. It has been occurring everywhere - down the street, in the barrios, in the upland, on the highway, in the woods, in the desert, at the border, and even in the household. In many points of the globe, there are people who are made to disappear for exercising their rights and for opposing against human rights violations. It is done mostly in the context of widespread and systematic way under a climate of impunity where the perpetrators are free to do what they want without accountability. Asia is now considered the graveyard of the desaparecidos for having submitted the most number of cases to the UN Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances in recent years.

The disappearance of every person brings terrible sorrows and sufferings to his or her family. The long and agonizing search for the victims' whereabouts usually ends in fruitless undertaking. The normal life that their families used to have is now shattered by emotional and psychological devastation, economic dislocation, uncertainty… Their lives are even at risk for having to undergo the same fate that their loved ones succumbed for seeking truth, justice, redress and reparation.

But the families of the disappeared refuse to give in to fear. They know that their disappeared loved ones' only hope to return alive and to find truth and justice is for them to be strong and united. Their faith is as clear as the light at the end of the tunnel and as bright as the rainbow after every rain.

The adoption of International Convention for the Protection of All Persons from Enforced or Disappearance by the United Nations General Assembly on the 20th of December 2006 sparked a ray of hope for the families of the disappeared. To date, however, only four countries in Asia have affixed their signatures to the Convention. Asia, being the continent which submitted a huge number of cases to the United Nations needs the ratification by its governments of this new treaty and to pass domestic laws criminalizing enforced disappearance.

The International Week of the Disappeared is an expression of solidarity of all families of desaparecidos of the world. It is a celebration of life to honor the historical memory of those who have given their lives for the ransom of many. It is a renewal of commitment of the families of the disappeared and all human rights advocates to keep on the struggle against enforced disappearances and impunity until the dawning of the day when there are no more desaparecidos.

On this occasion, families of the disappeared call for an end to their untold sufferings brought about by this anti-life instrument used to silence their beloved desaparecidos. Despite their physical absence, the desaparecidos refuse to be silenced. For indeed, the perpetrators have miserably failed to silence them by physically eliminating their victims. As we commemorate the International Week of the Disappeared, we reiterate that the desaparecidos remain ever present in our minds and hearts.

Enforced disappearance is anti-life…
No to untold sufferings…
Ratify the UN Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance!


Signed:


MUGIYANTO MARY AILEEN D. BACALSO
Chairperson Secretary-General

Thursday, May 15, 2008

From the Voice of Human Rights Media
15 Mei 2008 - 13:00 WIB

10 Tahun Reformasi
Mengenang Para Martir Perubahan
Mugiyanto*


SETIAP kali diwawancarai, Suyatno selalu menjelaskan, "kalau tidak karena peristiwa yang menimpa Suyat pada awal tahun 1998, pasti tidak akan ada perubahan yang menempatkan mereka pada posisi seperti yang mereka nikmati saat ini. Tapi sayangnya, mereka seperti lupa itu semua". Begitu Suyatno menyampaikan kekecewaannya kepada para pemimpin negeri yang telah silih berganti sejak Soeharto lengser sepuluh tahun yang lalu. Suyatno patut kecewa karena tak satupun Presiden yang mempedulikan nasib dirinya dan ribuan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia lainnya.

Suyatno adalah kakak kandung Suyat, korban penculikan aktivis awal tahun 1998 di Solo, Jawa Tengah. Suyatno sempat ditangkap dan disiksa beberapa hari oleh sekelompok penculik yang mencari Suyat, hanya karena ia kakak Suyat yang wajahnya mirip Suyat. Sementara Suyat, adalah korban penculikan yang sampai hari ini tidak pernah pulang dan tidak diketahui nasib dan keberadaannya.

Krisis dan Tumbuhnya Gerakan Rakyat
Tidak bisa disangkal, bahwa salah satu penyebab lengsernya Soeharto adalah terjadinya krisis ekonomi sejak pertengahan tahun 1997. Krisis ini memang tidak hanya memukul Indonesia, melainkan juga Thailand, Korea Selatan, dan beberapa negara Asia lainnya. Akan tetapi, Indonesia mengalami dampak jauh lebih serius dibandingkan negara-negara tersebut. Hal ini terjadi karena langkah-langkah yang diambil Soeharto memperburuk krisis itu sendiri (Fadli Zon, 2004).

Karena sangat buruknya krisis ini, nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika sempat anjlog pada nilai terendah, yaitu mencapai Rp 17.000 per Dolar Amerika pada tanggal 22 Januari 1998. Sebelum krisis, nilai tukar rupiah terhadap dollar adalah Rp 2.500 per Dolar Amerika. Hancurnya nilai tukar rupiah ini kemudian menimbulkan efek domino berupa membumbungnya harga-harga kebutuhan pokok, bangkrutnya industri dan terjadinya pemutusan hubungan kerja secara massal, juga terjadinya capital flight.

Dalam situasi yang demikian, gejolak sosial adalah keniscayaan. Hampir setiap hari sejak pertengahan tahun 1997, media selalu memberitakan adanya aksi-aksi protes masyarakat mengecam ketidakmampuan pemerintah dan menuntut diturunkannya harga-harga kebutuhan pokok (sembako). Semua sektor masyarakat bergerak, terutama mereka yang tinggal di perkotaan. Kelompok ibu-ibu juga turut berteriak-teriak di jalan menuntut diturunkannya harga susu bayi yang harganya tak lagi terjangkau. Di pusat-pusat perbelanjaan, bank, pom bensin, juga terjadi rush dan antri panjang untuk memperebutkan barang yang jumlahnya sedikit namun harganya mahal.

Ketika krisis ekonomi semakin memburuk, aksi-aksi kriminalitas dalam bentuk pencurian dan penjarahan bahan-bahan kebutuhan pokok juga terjadi di beberapa tempat. Mulai dari aksi pencurian jagung dan singkong milik tetangga, sampai pengutilan susu dan makanan bayi di supermarket. Semuanya bermotif ekonomi, hanya untuk bertahan hidup (survival).

Gerakan prodemokrasi yang dipelopori mahasiswa sejak awal tahun 1990-an seperti mendapatkan momentum kebangkitannya. Dari sebuah awal mengusung isu-isu kampus dan nasional yang nampaknya jauh dari kepentingan dan problema masyarakat seperti tuntutan kebebasan akademik di kampus, pencabutan dwi fungsi ABRI dan paket 5 Undang-Undang Politik tahun 1985 dan lain-lain, mahasiswa lalu turut menyuarakan tuntutan diturunkannya harga-harga, dan tuntutan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang waktu itu diangap sebagai penyebab terjadinya kehancuran ekonomi Indonesia.

Aksi-aksi demonstrasi yang dipelopori mahasiswa dengan tuntutan penurunan harga dan pemberantasan KKN ini kemudian meluas di hampir seluruh kota yang ada universitasnya di Indonesia. Gerakan mahasiswa terus mendapatkan momentumnya untuk meluas tidak hanya dalam cakupan geografis, tetapi juga kualitas tuntutannya. Dari penurunan harga dan pemberantasan KKN, tuntutan mahasiswa lalu menjadi tuntutan yang struktural, yaitu REFORMASI yang secara umum diartikan sebagai tuntutan adanya perubahan struktur kekuasaan dari Orde Baru Soeharto ke struktur kekuasan yang baru yang bersih dari KKN dan diharapkan mampu mengatasi krisis ekonomi.

Para Martir
Ketika gerakan pro demokrasi menemukan momentumnya saat krisis ekonomi terjadi, serangkaian represi juga dilancarkan oleh rejim Orde Baru terhadap suara-suara kritis. Dedi Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Sonny dan Yani Afri adalah aktivis PPP dan PDI yang menjadi korban penculikan di Jakarta ketika muncul fenomena koalisi akar rumput Mega-Bintang antara pendukung PPP dan PDI melawan Golkar pada saat kampanye pemilu 1997. Sampai hari ini, 5 orang yang disebut di atas belum diketahui rimbanya.

Para aktivis Mega-Bintang yang dihilangkan ini adalah ancaman bagi dominasi dan kemenangan Golkar pada Pemilu 1997 dan "kesuksesan" agenda besar Orde Baru yang hendak menjadikan Soeharto untuk menjadi penguasa untuk kesekian kalinya. Bila fenomena Mega-Bintang tidak dihentikan, suara PPP dan PDI dikhawatirkan Golkar akan naik, karena mereka menjadi representasi suara arus bawah yang selama tiga dekade terakhir dipinggirkan dan diambangkan politik dan suaranya oleh kebijakan Orde Baru. Menghilangkan mereka menjadi pilihan model represi yang dipakai Orde Baru saat itu.

Lalu pada awal tahun 1998, mesin represi Orde baru bekerja lagi. Tindakan penangkapan dan penculikan dilakukan terhadap aktivis-aktivis pro demokrasi yang diduga akan menggangu Sidang Umum MPR Maret 1998 yang mengagendakan pemilihan kembali Soeharto sebagai presiden untuk yang ke-7 kalinya. Mereka yang menjadi korban pada peristiwa penculikan periode ini antara lain adalah aktivis Aldera, LBH Nusantara, PDI Megawati, Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Ada 14 korban yang diculik pada periode ini. Dari 14 orang tersebut, 9 orang yang telah dilepaskan termasuk saya, seorang yang kemudian diketemukan meninggal (Gilang), dan 4 orang yang sampai hari ini tidak diketahui nasib dan keberadaannya. Mereka ini adalah Wiji Thukul, Petrus Bimo Anugerah, Suyat dan Herman Hendrawan.

Sebelum diculik, selain aktif di Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera), Pius Lustrilanang juga aktif di Solidaritas untuk Amin dan Mega (SIAGA), sebuah jaringan untuk mendukung Amin Rais dan Megawati menjadi calon presiden untuk menantang Soeharto. Pada masa itu, mencalonkan orang untuk menjadi Presiden diluar Soeharto adalah tindakan yang bisa dikategorikan subversi. Sementara Desmond Junaedi Mahesa adalah aktivis LBH Nusantara Bandung banyak melakukan advokasi kasus-kasus rakyat bidang pertanahan. Sedangkan Haryanto Taslam adalah Sekjend. DPD PDI DKI Jakarta yang punya hubungan dan pengaruh sangat kuat dengan basis massa PDI dan gerakan prodemokrasi di Jakarta. Taslam diangap berbahaya karena ia punya kemampuan untuk memobilisasi massa dalam jumah besar.

Lalu bagaimana dengan para aktivis PRD, SMID dan organisasi-organisasi lain yang dekat dengannya, sehingga mereka menjadi target utama pemculikan?Sejak awal 1990-an, organisasi-organisasi yang kemudian mendirikan PRD seperti Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), Pusat perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), Serikat Tani Nasional (STN), Jaker (Jeringan Kerja Kesenian Rakyat) dan Serikat Rakyat Indonesia (SRI) adalah organisasi-organisasi yang giat mengorganisir kekuatan rakyat untuk secara keras mengkritisi dan menentang kebijakan Orde Baru. Mereka mengidentifikasi bahwa perubahan fundamental harus dilakukan di Indonesia, dengan pertama-tama mencabut dan menganti beberapa undang-undang dan konsep mendasar kebangsaan sebagai syarat menuju Indonesia yang demokratis dan berkeadilan sosial.

Beberapa diantaranya adalah, pencabutan Dwi Fungsi ABRI dengan mengembalikan militer ke barak, memisahkan kepolisian dari militer, dan membubarkan struktur teritorial ABRI seperti Komando Daerah Militer (Kodam), Komando Distrik Militer (Kodim), Komando Rayon Militer (Koramil) dan Badan Pembina Desa (Babinsa). Mereka juga menuntut pencabutan paket 5 Undang-Undang Politik tahun 1985 yang hanya mengijinkan adanya 3 partai politik, menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya dasar organisasi, adanya wadah tunggal bagi setiap sentir masyarakat dan memungkinkan adanya wakil militer di Parlemen. PRD menuntut adanya sistem multipartai di Indonesia dan kebebasan berorganiasi di Indonesia.

Sementara organisasi-organisasi sektoral yang bergabung menjadi organisasi massanya menuntut perubahan fundamental bidang pertanian dan pertanahan, perburuhan, pendidikan, kebudayaan dan penanganan kaum miskin perkotaan. PRD juga sangat tegas mendukung hak demokratik rakyat Timor Lorosae untuk menentukan nasibnya sendiri melalui referéndum.Di bidang ekonomi, PRD waktu itu mengecam keras kebijakan yang berorientasi pasar bebas dan takluk pada dikte-dikte IMF dan Bank Dunia yang nyata-nyata merugikan kepentingan masyarakat Indonesia.

Aktivis PRD, SMID, Jaker dan sebagainya dianggap berbahaya karena tuntutannya yang langsung menghunjam ke tulang punggung penopang (backbone) kekuaaan Orde Baru.Sebelum melakukan penculikan terhadap para aktivis PRD, pada peristiwa Sabtu Kelabu 27 Juli 1996, yaitu penyerangan kantor PDI Megawati di Jl. Diponegor Jakarta yang berakibat terjadinya kerusuhan massa, PRD dianggap sebagai biangkerok (mastermind) dan lebih dari itu, PRD dianggap sebagai organsasi komunis yang baru. Sampai 1998, aktivis-aktivis PRD adalah musuh-musuh berbahaya bagi rejim Orde Baru yang musti dilenyapkan.

Mesin represi Orde Baru tidak juga berhenti menindas gerakan prodemokrasi. Ratusan pendukung PDI Megawati yang mengadakan pawai menuntut penurunan harga di Jakarta Selatan di cegat aparat polisi dan tentara lalu semuanya dikirim ke rumah tahanan Polda Metrojaya. Di kota-kota besar seperti Bogor, Jogjakarta, Makassar, Medan, Surabaya, dan Bandung, demonstrasi mahasiswa dihadapi pentungan, gas air mata, penjara bahkan timah panas. Lalu tewaslah antara lain Moses Gatutkaca di Jogjakarta dan puluhan orang tak bernama lainnya.

Puncaknya adalah ketika 5 orang mahasiswa Trisakti, Jakarta ditembak mati oleh para sniper ketika mereka menggelar aksi demonstrasi di halaman kampus pada tanggal 12 Mei 1998. Elang Mulya Lesmana, Hafidin Royan, Hendriawan Sie dan Hery Hartanto adalah para mahasiswa yang akhirnya gugur bersimbah darah karena diterjang peluru panas itu. Peristiwa inilah yang kemudian menyulut kemarahan publik keesokan harinya hingga tiga hari beturut-turut di Jakarta dan kota -kota besar lainnya.

Tanggal 13, 14 dan 15 Mei 1998, Jakarta luluh lantak. Ribuan orang tumpah ruah ke jalan, menghancurkan apa yang bisa dihancurkan. Mereka merusak dan membakar pertokoan, fasilitas publik dan simbol-simbol kekuasaan Orde Baru. Namun, selalu saja ada yang mengambil keuntungan ditengah histeria massa ini. Massa yang beringas tiba-tiba seperti dikomando menjarah pertokoan, mall dan pasar swalayan. Massa juga menjadikan etnis Tionghoa sebagai sasaran. Mereka menjarah dan membakar harta milik keturunan Tionghoa, dan bahkan melakkan penyerangan fisik. Beberapa LSM bahkan menyebutkan adanya kekerasan seksual serius terhadap perempuan etnis Tionghoa.Tim Relawan Untuk Kemanusiaan (TRuK), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Komnas HAM menyebutkan ribuan orang menjadi korban selama 3 hari kerusuhan yang terjadi di Jakarta dan meluas ke beberapa kota besar seperti Solo, Macasar dan Medan ini. Ribuan orang tanpa nama yang menjadi korban ini hilang tanpa jejak, mati terbakar, mengalami aneka kekerasan seksual dan sebagainya.Mereka semua adalah para martir, yang karena pengorbanannya, baik disadari atau tidak, telah mengantarkan kekuasaan formal Orde Baru pada akhir keberadaannya. Yaitu ketika akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Soeharto terpaksa mengumumkan pengunduran dirinya sebagai presiden Republik Indonesia.

Para martir itu telah membuka jalan perubahan dan darah serta jiwanya telah menjadi penyubur bagi tumbuhnya demokrasi Indonesia.

Penyangkalan
NegaraKembali ke tesis sederhana Suyatno, kayak Suyat itu, 'apakah pemerintah saat ini telah memberikan para martir itu tempat yang layak? Apakah para martir itu telah mendapatkan apa yang menjadi hak mereka, di Indonesia yang baru ini?'

Suyatno sudah memberikan jawabannya. Yaitu bahwa ia kecewa.

Mereka yang hilang sampai saat ini tidak diketahui rimbanya. Suyatno masih tidak mengetahui nasib dan keberadaan nasib Suyat adiknya. Demikian juga keluarga sorban yang lain yang masih dalam 10 tahun penantian ketidakpastian. Hasil penyelidikan Komnas HAM yang seharusnya disidik oleh Jaksa Agung juga malah berkasnya dikembalikan ke penyelidik, sehingga proses penanganan hukum sama sekali tidak maju.

Lima korban peristiwa penembakan di kampus Trisakti memang telah diberi penghargaan gelar sebagai pahlawan reformasi oleh Presiden. Tetapi apakah itu bisa mengganti 5 nyawa yang melayang, terlebih lagi ketika mereka yang menembak sama sekali tidak dimintai pertanggungjawaban? Hasil penyelidikan Komnas HAM juga mengalami perlakuan yang sama oleh Jaksa Agung, dikembalikan ke penyelidik.Lalu bagaimana dengan ribuan korban peristiwa kerusuhan 13 - 15 Mei 1998? Banyak dari mereka yang masih dalam ketidakpastian, karena tidak menemukan jasad keluarga yang hilang. Para keluarga juga masih menghadapi cap negatif dan stigma bahwa sanak saudara mereka yang hilang dan mati terbakar adalah penjarah. Belum lagi yang masih mengalami trauma akibat kekerasan seksual dan perkosaan.

Sama dengan kasus penculikan dan penembakan mahasiswa, berkas penyelidikan Komnas HAM untuk kasus kerusuhan Mei 1998 ini juga dikembalikan oleh Jaksa Agung ke penyelidik Komnas HAM. Sebagaimana kasus penculikan aktivis, Jaksa Agung mengatakan bahwa mereka tidak bisa melakukan penyidikan sebelum pengadilan HAM ad hoc didirikan presiden.

Sungguh, ini adalah sebuah penyangkalan atas prinsip keadilan, terutama korban. Putusan Makhamah Konstitusi 21 Pebruari 2008 yang menyatakan bahwa DPR memerlukan hasil penyelidikan Komnas HAM dan Penyidikan Jaksa Agung untuk bisa merekomendasikan Presiden membentuk Pengadilan HAM ad hoc dianggap angin lalu oleh Jaksa Agung.Kondisi ini diperburuk lagi oleh ulah Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono dan 600 purnawirawan TNI/Polri yang bersepakat untuk melawan kerja-kerja Komnas HAM untuk menyelidiki kasus-kasus pelangaran HAM masa lalu.

Hasilnya: impunitas. Ironisnya, Presiden Yudhoyono yang seharusnya menjadi palang penghalang impunitas, menjadi membisu. Publik masih ingat, ia pernah berjanji merehabilitasi korban peristiwa 1965. Ia juga pernah berjanji menuntaskan kasus pembunuhan Munir, dan menganggap janjinya sebagai "a test of our history".Bulan Maret lalu, kepada Kontras dan keluarga korban pelanggaran HAM yang diundangnya di Istana, Presiden Yudhoyono berjanji untuk memastikan bahwa semua pihak dan institusi negara akan patuh hukum dalam usaha penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM.

Kini, luka-luka akibat rangkaian catatan hitam dalam sejarah Republik ini masih terbuka menganga. Yang tinggal kemudian adalah berseraknya orang-orang yang menjadi korban. Mereka yang seharusnya menikmati buah manis hasil perjuangan para martir, oleh Negara dijadikan sebagai paria. Sudah 10 tahun kita menapaki alam perubahan itu. Haruskan urat kesabaran mereka para korban harus direntang lagi? Presiden Yudhoyono memiliki jalaban atas pertanyaan-pertanyaan yang akan terus mengusiknya sampai ke meja makan ini.***

Mugiyanto adalah penyintas (survivor) penculikan aktivis 1998, kini ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI)